Penataan kota yang merujuk pada konsep “green city” atau kota hijau, tidak sekedar mengedepankan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), melainkan juga merencanakan dan menata ulang kota secara sehat dan ekologis.
Konsep Green City atau kota hijau muncul pertama kali dalam pertemuan PBB yang dihadiri lebih dari 100 walikota dan gubernur di San Fransisco, Amerika Serikat, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tahun 2005 lalu. Pertemuan tersebut, diantaranya melahirkan kesepakatan bersama mewujudkan pengembangan kota dengan konsep ‘kota hijau’.
Adapun mengenai konsep kota hijau yang ditawarkan, adalah perlunya pemerintah memanfaatkan energi matahari, udara dan air untuk mewujudkan green building dan green businnes pada proyek-proyek restorasi lingkungan kota, pertamanan kota dan penghijauan kota.Secara individu , penduduk kota diharapkan juga memiliki kebiasaan menggunakan kendaraan umum, berjalan kaki, bersepeda atau mengunakan angkutan berbahan bakar non fosil.
Pertumbuhan populasi kota yang sangat cepat, berdampak pada penurunan kualitas kota tersebut, baik sosial maupun lingkungan serta mengakibatkan pertumbuhan kota yang tidak berkelanjutan (sustainability) secara ekologis, sosial maupun ekonomis menjadi inti dalam konsep Green city. Kota juga harus mulai mencari cara untuk mewujudkan green city, demi memperbaiki dan membangun kembali hubungan yang harmoni antara manusia dan alam, serta memaksimalkan kesejahteraan manusia penghuninya. Dan aspek penting dalam green city, adalah keterlibatan masyarakat dalam membuat keputusan.
Konsep Green City
“green city merupakan frase yang sering digunakan dalam mengangkat isu ekologis ke dalam konsep perencanaan kota yang berkelanjutan dan perwujudan green city merupakan tantangan ke depan dalam pembangunan perekonomian yang berkelanjutan,” demikian Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam keynote speech-nya yang berjudul Green Cities : Challenge towards Sustainable Urban Development.
Menurut Imam S.Ernawi, kota-kota di Indonesia yang padat, terutama berada di wilayah pulau Jawa dan Bali, dimana hampir 55% populasinya hidup di wilayah perkotaan. Kondisi tersebut , akan menimbulkan berbagai permasalahan di perkotaan, seperti degradasi lingkungan, masalah sosial, ekonomi dan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan paket kebijakan responsif yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan, sehingga dapat terwujud kualitas lingkungan yang lebih baik, untuk saat nii maupun generasi mendatang.
Beberapa aspek krusial yang harus dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan, antara lain : harus dapat menyelesaikan permasalahan urbanisasi dan kemiskinan di kawasan pedesaan, kewajiban kota untuk menyediakan ruang hijau (RTH) minimal 30% dari luas wilayahnya, pengutamaan aspek perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan, serta mengutamakan mitigasi dan risiko bencana.” jelas Imam S.Ernawi
p
Sementara itu , Prof. Joerg Rekittke dari National University Singapore dalam paparannya menjelaskan menjelaskan tentang konsep green city yang cukup menarik dan “out the box” dalam perencanaan landscape, yakni mengenai konsep “Urban Jungle”. Konsep ini, merupakan perencanaan ruang terbuka hijau kota dengan tipologi hutan tropis yang memiliki multiple layer vegetation.
Ruang terbuka hijau dalam konsep green city mencakup empat hal :
Taman berskala bertetanggaan (neighbourhood park)
Taman lingkungan (community park)
Taman kota (city park)
Taman umum (public park)
Taman-taman ini merupakan tempat interaksi antarwarga lingkungan. Untuk itu perlu membuka akses terhadap taman-taman tersebut, mengingat taman-taman kota yang ada skarang sulit diakses, karena lalu lintas disekitar taman yang padat dan kebanyakan merupakan taman pasif.
pustaka : technokonstruksi majalah , edisi 17 september 2009
Comments